04/12/09

Pariwisata Bali Kehilangan Roh

PERAN Bali dalam pariwisata Indonesia mencapai 25-30 persen. Ini artinya Bali memikul beban yang sangat berat. Terlebih lagi, semua atraksi wisata numplek di Bali. Akibatnya pariwisata Bali kehilangan roh. Demikian terungkap pada Workshop Tri Hita Karana di Bali Beach Sanur, Jumat (4/12) kemarin. Acara yang diselenggarakan serangkaian HUT ke-11 Bali Travel News tersebut menghadirkan dua pembicara. Mereka itu mantan Menteri Lingkungan Hidup Prof. Emil Salim dan mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika. Dalam seminar yang dimoderatori A.A. Gede Raka Dalem, Emil Salim mengungkapkan keprihatinannya melihat pola pengelolaan pariwisata di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Bila dibandingkan dengan negara lainnya di Asia Tenggara, jumlah kunjungan wisatawan ke negeri ini kalah jauh dengan Malaysia. Negara yang keanekaragaman diversity pariwisatanya jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia, malah lebih banyak dikunjungi wisatawan. ''Ada apa dengan negeri ini,'' tanyanya. Bukan hanya prihatin dengan kondisi pariwisata Indonesia. Pakar lingkungan ini juga mempertanyakan pola pengelolaan pariwisata di Bali. Ia melihat pengembangan pariwisata Bali tidak memiliki karakter yang jelas, sesuai dengan potensi yang dimilikinya, yakni religi, budaya dan alam. Pengembangan pariwisata di Bali tidak ubahnya seperti gado-gado. Pariwisata gado-gado yang dikembangkan di Bali ini dikhawatirkan akan mengancam kelangsungan sektor pariwisata di pulau seribu pura ini. Karena semua sudah ada di Bali. Mulai dari wisata budaya, wisata belanja, wisata race, dll. Padahal sejatinya hal itu tidak perlu dikembangkan di Bali. Pengembangan pola seperti ini dinilai telah menghilangkan karakter pariwisata Bali. Bila ini tidak segera ditata, maka apa jadinya Bali ini 20 tahun mendatang. ''Kita perlu mempertahankan roh pariwisata Bali itu sendiri,'' tegasnya. Dikatakannya, Bali yang memiliki budaya yang sangat adiluhung, dengan tatanan masyarakatnya yang sudah tertata di dalam satu banjar, perlu dipertahankan keberadaannya. Jangan sampai banjar di Bali itu hilang. Subak di Bali hilang. Karena karakter pariwisata dengan unsur religinya itu terlihat jelas di lingkungan banjar tersebut. Destinasi wisata di Bali yang dirancang di Denpasar, Kuta, Jimbaran, Nusa Dua, Tanah Lot, Sanur, tidak perlu lagi ditambah. Bila destinasi wisata tidak dibatasi di Bali, ke depan kondisi Bali tidak ubahnya seperti Singapura. ''Bila sudah seperti itu, apa karakter pariwisata Bali nanti,'' tanyanya. Emil Salim mengungkapkan karakter pariwisata Bali terletak pada konsep Tri Hita Karana (THK). Konsep itu sudah mencangkup keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan masyarakat, dan hubungan yang baik dengan lingkungan. Jadi roh Bali itu sudah jelas, yakni Tri Hita Karana. Emil Salim meminta masyarakat dan pemerintah di Bali jangan merusak alam untuk komersial. Pemandangan yang unik di Bali ini jangan ditutup dengan bangunan dan vila yang kian menjamur. Bila pemandangan yang unik dan asri itu dibangun restoran, maka orang yang ingin menikmati pemandangan alam yang indah itu harus masuk restoran. Biarkan orang menikmati pemandangan alam yang indah itu tanpa harus terhalang dengan bangunan yang macam-macam. Emil Salim juga menyayangkan pariwisata di negeri ini belum memiliki branding yang layak untuk menggugah wistawan datang ke negeri ini. Keberadaan branding itu sangat penting peranannya dalam menggugah kehadiran wisatawan datang ke daerah untuk berwisata. Seperti branding yang diluncurkan Malaysia dengan ''Truly Asia''-nya ternyata memberikan dampak pisitif dalam pertumbuhan kunjungan wisatawan ke negeri jiran itu. Sementara I Gede Ardika mengungkapkan, pengembangan pariwisata di Bali harus dilihat secara holistik. Mulai dari aspek ekonomi, soial, budaya, keamanan, dan lingkungannya. Jangan hanya terpaku pada gemercik dolar. Terlebih konsep yang sudah ada di Bali, yakni Tri Hita Karana harus bisa diimplementasikan dalam pengembangan pariwisata. Ardika mengatakan konsep Tri Hita Karana ini sudah digunakan di tingkat nasional dan internasional, dengan nama lain. Seperti yang digunakan dalam UU Pariwisata, dengan konsep hidup dalam keseimbangan sebagai landansan pengembangan pariwisata ke depan. (kmb12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar