27/06/10

Simalakama Maraknya Usaha dan Pekerja Asing di Bali Menjamur, Data Valid Tak Ada

Tak mungkin modal dan tenaga asing tak masuk Bali, sebagai kawasan wisata dunia. Di saat jumlah mereka terus bertambah, kontrol dan pendataan tetap masih lemah, seadanya. Kini, posisi pun maju kena, mundur kena.

SIAPA bilang warga asing yang datang ke Bali sebatas berdarmawisata? Tidak sedikit dari sekitar dua jutaan dari mereka yang mengunjungi Bali setiap tahunnya bermaksud untuk urusan bisnis. Ada juga yang berstatus sebagai tenaga kerja. Banyak juga yang membuka usaha.

Dan, yang perlu diingat, tidak sedikit yang nakal yang mengklaim datang ke Bali untuk berwisata, namun kenyataannya berbisnis di berbagai sektor usaha. Pun termasuk yang mengkampanyekan diri sebagai lembaga sosial, tapi berpraktik meraup keuntungan.

Bidangnya juga sangat beragam. Dari urusan kebersihan, seni, sampai kesehatan hewan. Repotnya, entah sadar atau cuek, masa bodoh, di kalangan pemerintah daerah setempat seolah menutup mata terhadap fakta tersebut.

Badung, Denpasar dan Gianyar menjadi tempat favorit bercokolnya perusahaan asing di Bali melalui jalur Penanaman Modal Asing (PMA) dan pekerja-pekerjanya juga. Meskipun untuk mengurus PMA prosesnya cukup panjang. Yakni mengajukan permohonan di pemerintah pusat, kemudian dikeluarkan izinnya oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD).

Selain izin operasional dari BKPMD, calon perusahaan asing yang ingin beroperasi juga harus mengurus berbagai perizinan lain, layaknya perusahaan nasional di tingkat kabupaten atau kota. Seperti Izin Prinsip, IMB, SIUP, Situ-HO dan lainnya sesuai dengan jenis usaha yang ingin dijalani.

Sayangnya, ini gampang diakali, karena memang pada dasarnya ada kesadaran atau mental buruk untuk mengakalinya. Lemahnya pengawasan dari instansi terkait membuat banyak warga asing di Bali yang membuka usaha tanpa jalur PMA. Jalur yang ditempuh, biasanya dengan mengatasnamakan isteri atau suami, pembantu, atau teman kumpul kebo yang berkewarganegaraan Indonesia sebagai pemilik usaha, alias pinjam nama orang, diatasnamakan.

Parahnya, tidak sedikit juga orang asing yang nekat membuka usaha tanpa mengantongi izin apapun. Yang menyedihkan, kondisi ini justru dimaklumi sejumlah pejabat daerah karena menganggap memberi keuntungan. "Keberadaan mereka (perusahaan asing ilegal) juga tetap menguntungkan, seperti membuka lapangan kerja dan transfer teknologi bagi industri lokal," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Gianyar, Wayan Suamba.

Di Gianyar sendiri, berdasarkan data di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) dan Bagian Ekonomi Pemkab Gianyar, saat ini ada sekitar 42 buah perusahaan PMA. Total investasinya hanya sekitar USD 30,9 juta. Sebagian besar dari perusahaan ini dimiliki warga negara Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Sektor yang digarap di antaranya bidang ekspor-impor (kargo), hotel dan restoran, serta perdagangan.

Meski begitu, jumlah ini sendiri diragukan kevalidannya, mengingat di Gianyar banyak ditemukan tempat-tempat usaha yang dikelola oleh pihak asing. Keraguan ini juga diakui Bagian Ekonomi Pemkab Gianyar yang khusus menangani keberadaan PMA di Gianyar. "Kami sendiri meragukan data yang kami pegang. Karena selama ini data itu hanya kiriman dari BKPM Provinsi, dan tidak pernah kami monitor," kata Kabag Ekonomi Gianyar, Dewa Gde Suartika.



Menurut Suartika, realisasinya di lapangan, jumlah perusahaan milik orang asing diperkirakan masih banyak yang berkeliaran tanpa izin. Akibatnya, selama ini pihaknya mengaku tidak punya gambaran aktifitas orang-orang asing yang bercokol di Gianyar untuk meraup keuntungan tersebut. Termasuk serapan tenaga kerja warga lokal. "Kami tidak punya data pasti berapa tenaga kerja lokal yang bekerja pada perusahaan asing," tandasnya.

Untuk menutupi kelemahan validasi data ini, Suartika mengaku akan melakukan pendataan ulang terhadap keberadaan perusahaan perusahaan asing di Gianyar ini. "Paling cepat tahun depan kami akan lakukan monev (monitor-evaluasi), sambil menunggu anggaran perubahan," sebutnya.

Tak heran, akibat kelemahan data ini, banyak WNA nakal yang berseliweran menjalani bisnis di Bali tanpa pengawasan instansi terkait. Salah satunya adalah yayasan Bali Animal Animal Welfare Association (BAWA). Yayasan yang berkantor di kawasan Monkey Forest , Ubud, ini mengkampanyekan dirinya sebagai yayasan sosial di bidang kesehatan hewan non profit, tidak berorientasi pada keuntungan.

Selain aksi sosial, yayasan ini juga memiliki klinik hewan di kawasan Lodtunduh, Ubud. Hebatnya, yayasan ini jugalah yang menjalankan hampir semua program penanganan rabies di Bali . Termasuk vaksinasi dan eliminasi anjing.

Di sisi lain, pengakuan BAWA ini berseberangan dengan keterangan mantan Kepala Dinas Peternakan (Kadisnak) Bali , Ida Bagus Alit. Menurutnya, yayasan ini tidak mengantongi izin beroperasi dari Disnak. Bahkan, berdasarkan hasil penelusurannya, Alit mengaku tahu persis bahwa yayasan ini tetap saja profit oriented. "Bawa selama ini mengklaim ke luar negeri bahwa merekalah yang menangani kasus rabies di Bali , dengan begitu mereka bisa menyerap donasi pihak asing dalam jumlah besar," papar IB Alit saat masih menjabat Kadisnak.

Setelah mengetahui praktik BAWA, Disnak lantas menyetop semua aktivitas BAWA sampai tingkat kabupaten. "Selama ini mereka mendapat vaksin anjing dari Disnak kabupaten, saya sudah melayangkan surat untuk menyetop kerjasama dengan BAWA," ujarnya, ketus.

Ditanya terkait nilai donasi yang yang sudah diraup BAWA, Alit mengaku tidak tahu pasti. ""Saya yakin sangat banyak, tapi saya tidak tahu persis. Yang pasti dengan keberadaan mereka, dunia internasional menganggap selama ini pemerintah tidak bekerja, karena diklaim sendiri oleh BAWA," bebernya.

Saat koran ini mengkonfirmasi beberapa waktu lalu, pihak BAWA membantah tudingan tersebut. BAWA mengaku, yayasan tersebut non profit dan sudah mengantongi izin. ""Bagaimana mungkin kami ilegal? Karena selama ini kami bekerjasama dengan Disnak di semua kabupaten," kelit Levin, Project Assistance BAWA untuk rabies di Bali.

Pria bule yang fasih berbahasa Indonesia ini justru mempertanyakan kredibilitas IB Alit Putra sebagai Kadisnak. Mengingat yang bersangkutan sudah memasuki usia pensiun saat itu. "Per 31 Desember lalu dia sudah non aktif," sebutnya seolah tahu banyak tentang komposisi aparat pemerintah daerah. "Saat ini pun kami masih menjalani kerjasama dengan Disnak Gianyar untuk program vaksinasi anjing," lanjutnya.

Menurut keterangan salah seorang staf kantor ini, BAWA dipimpin oleh seorang direktur berkewarganegaraan Amerika Serikat, hampir semua staf kantornya pun dipenuhi bule. Saat koran ini mendatangi BAWA beberapa waktu lalu pun terkesan tidak nyaman. Bahkan, koran ini sempat diinterogasi dan dimintai kartu identitas sebagai wartawan untuk diperiksa di dalam ruangan.

Dan, pihak pemkab juga terkesan "sungkan" untuk kritis. "Kami hanya berperan pasif dalam hal pendataan, tidak punya kewenangan untuk mengawasi dan menindak, karena semua urusan PMA ditangani BKPM," sambung Suartika.

Dengan alasan itu, Suartika menyarankan agar pengelolaan PMA di tingkat kabupaten ditangani satu lembaga teknis khusus seperti BKPM di tingkat provinsi. Selama ini, pengurusan PMA ditangani Kasubag Penanaman Modal di Bagian Ekonomi Pemkab Gianyar. "Ini terlalu kecil, untuk penanganan urusan sebesar ini tidak cukup hanya di- handle seorang Kasubag," jelasnya.

Memang, sejak April 2009 lalu, kewenangan penanganan PMA di Gianyar diambil juga oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT). Sebelumnya pihak Bappeda juga berperan dalam hal ini. "Setelah ada BPPT, Bappeda tidak lagi mengurus PMA, tinggal BPPT dan Bagian Ekonomi," sambung Suartika. Kendati demikian, lanjutnya, keberadaan BPPT juga belum cukup. "Harus melalui lembaga teknis khusus berupa badan," tambahnya.

Dengan adanya lembaga teknis, dia menjelaskan, keberadaan PMA dan aktifitas usaha asing akan terpantau secara berkala. Monitoring ini, menurutnya bisa memberi keuntungan lebih bagi daerah. "Saat mereka mengurus izin usahanya, mereka melampirkan jumlah serapan tenaga kerja lokal, tapi saat sudah berjalan, kita tidak tidak pernah tahu apakah itu terealisasi atau tidak. Karena tidak pernah termonitor," ucapnya.

Gagasan ini cukup beralasan. Pasalnya, saat koran ini meminta data keberadaan PMA di Gianyar saja, Suartika dan stafnya gelagapan karena tidak mengantongi data valid. Tidak ada catatan pasti jumlah PMA atau perusahaan asing ilegal yang beroperasi di Gianyar. Termasuk penambahan dan pengurangannya, termasuk jumlah serapan tenaga kerja. "Kami baru bertugas di sini setahun," elak salah seorang staf beralasan.

Selidik punya selidik, kebiasaan sikap pasif ini ternyata memang sudah jadi warisan pihak yang menangani PMA di Gianyar. Data-data yang diwariskan ke pejabat sesudahnya, diakui selalu dalam keadaan tidak valid. Tak heran, Suartika dkk mengaku masih harus melakukan pendataan ulang terhadap perusahaan-perusahaan asing ini.

Berdasar data Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk) Bali , hingga bulan April 2010, jumlah tenaga asing secara resmi mencapai 1.206 orang. Ini yang legal, tercatat resmi. Mereka juga dalam posisi strategis, seperti manajer, konsultan. Bukan sebagai office boy atau security, misalnya. Belum jelas, maunya bagaimana pemerintah Bali memperbaiki fakta ini. (sentot prayogi)http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=166864

Tidak ada komentar:

Posting Komentar