20/10/10

Wisata Bahari di Bali Terpadat di Asia Tenggara Pemerintah Perlu Kaji Tata Ruang Laut

Denpasar (Bali Post) -

Perkembangan wisata bahari di Bali dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bahkan, tahun ini Pulau Dewata mendapat peringkat terpadat di Asia Tenggara dengan total usaha mencapai 187 perusahaan. Tahun 1992 anggota Gahawisri Bali yang mengembangkan usaha wisata bahari atau tirta hanya berkisar 20 perusahaan.

Ketua DPD Gahawisri Bali Yos WK. Amerta, Senin (18/10) kemarin mengatakan, pesatnya perkembangan usaha wisata bahari perlu dikaji, baik tata ruang laut, pesisir maupun sungai untuk menentukan daya dukung (carrying capacity) Bali, terutama di lokasi Tanjung Benoa, Sungai Ayung dan Sungai Telaga Waja.

''Hal itu sudah kami usulkan ke Dinas Pariwisata (Disparda) Bali yang nantinya akan dikaji oleh Bappeda Provinsi Bali. Sebab, apabila ini terus berlanjut akan terjadi overload pada suatu kawasan, selain membahayakan keselamatan wisatawan pengguna kegiatan wisata tirta dan persaingan tidak sehat antarpebisnis,'' ungkapnya.

Menurutnya, keberadaan jasa wisata tirta di Bali, di satu sisi sebagai salah satu objek wisata yang menarik bagi wisatawan, di lain pihak terkendala lokasi tata ruang yang tidak memungkinkan untuk mengembangkan aktivitas tersebut. Untuk itu, perlu kajian yang matang sehingga keberadaannya tidak hanya memberikan manfaat dan kenyamanan bagi wisatawan yang mengikuti kegiatan bahari.

Kendati, tidak dimungkiri masih ada kekurangan baik sarana maupun prasarana wisata tirta, termasuk yang paling mendesak yakni kajian tata ruang laut, namun hingga saat ini belum ada perda yang mengatur hal ini. Sehingga, terkesan belum ada perhatian dari pemerintah. ''Padahal, potensi dan kawasan yang kita miliki sangat luar biasa akan tetapi aturannya tidak jelas,'' ucapnya.

Melihat padatnya usaha wisata bahari di Bali, menurutnya, perlu mendapat penanganan yang lebih baik, meliputi pembenahan kualitas SDM, produk wisata bahari, palayanan, dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan wisata bahari. Selain itu, juga perlu diimbangi dengan penataan objek wisata yang menjadi tempat kegiatan wisata bahari.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali I.B. Kade Subhiksu mengatakan, jumlah 187 perusahaan di Bali (sesuai data di Gahawisri Bali) yang bergerak di wisata bahari dinilai sudah cukup banyak. Padatnya kegiatan wisata bahari di Bali menunjukkan setiap jengkal sungai, danau, dan laut di Bali memiliki nilai yang sangat mahal. Untuk itu, pelaku yang bergerak di bidang usaha wisata bahari memiliki kewajiban untuk ikut menata objek-objek wisata yang menjadi tempat kegiatan wisata bahari.

Padatnya kegiatan wisata bahari berpotensi terjadi kerusahakan flora dan fauna, seperti ikan termasuk terumbu karang terutama di laut. ''Untuk menekan kerusahaan alam tersebut, pengusaha wisata bahari perlu menjaga kebersihan lingkungan tempat pelaksanaan kegiatan wisata bahari,'' ujarnya.

Subhiksu meminta pengusaha wisata bahari menghindari adanya praktik perang tarif. Adanya perang tarif ini akan berdampak pada penurunan kualitas layanan kepada wisatawan pengguna jasa wisata bahari. Penurunan layanan jasa wisata bahari ini akan berdampak pada turunnya citra pariwisata Bali.

Pengusaha wisata bahari harus mampu memberikan jaminan keselamatan bagi wisatawan yang melakukan kegiatan wisata bahari baik snorkeling, diving termasuk usaha wisata bahari lainnya. ''Ini di antaranya dengan menggunakan SDM pemandu wisata bahari yang telah bersertifikasi,'' tegasnya.(par)http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaindex&kid=32&id=43485

Kawasan Pesisir Badung---(2-Habis) Terlalu Banyak Wacana, Perda Tak Berdaya

PEMBANGUNAN yang tak terkendali khususnya di bidang pariwisata, juga menjadi salah satu ancaman bagi kawasan pesisir pantai di Badung. Untuk itulah, perlu dirancang sebuah produk hukum sekaligus komitmen penegakan hukum yang mampu melindungi kawasan pesisir sekaligus mengakomodir pembangunan. Sebab, kondisi kawasan pesisir di Badung tidaklah sama.

Ketua Pansus RTRW Badung Putu Parwata mengatakan, pembahasan Ranperda RTRW Badung salah satunya menekankan perlindungan terhadap kawasan sempadan pantai. Seperti yang diketahui, selama ini, tidak sedikit pelanggaran sempadan pantai yang terjadi sehingga kawasan pesisir sebagai kawasan penyangga di hilir, keberadaannya terancam.

Menurutnya, kalau masalah pesisir, Ranperda RTRW Badung tetap mengacu pada RTRW Provinsi Bali. Dimana khusus untuk sempadan pantai jarak yang ditetapkan yaitu 100 meter. "Kita tetap sepakat dengan hal tersebut," ujarnya.

Meski demikian, Pansus juga memahami aspirasi yang berkembang di masyarakat selama ini, khususnya pemanfaatannya dari sisi ekonomis. Ditambah lagi, tidak semua kawasan pesisir pantai memiliki kondisi dan struktur yang sama. Artinya, harus ada pemahaman dan kajian realistis tentang ketahanan kawasan sempadan pantai di masing-masing wilayah. Untuk itulah, Pansus akan kembali melakukan zoning wilayah atau pemetaan kawasan untuk mencari kawasan mana saja yang memungkinkan untuk dikembangkan.

Dengan kata lain, ujar Ketua Komisi B DPRD Badung ini, 100 meter untuk sempadan pantai tidak mutlak dilakukan pada kawasan-kawasan tersebut. Walaupun tidak 100 meter, kajian mendalam masih perlu dilakukan guna menjamin ketahanan kawasan itu sendiri agar tidak menimbulkan dampak negatif. Jika pada akhirnya terjadi pemangkasan jarak sempadan pantai misalnya menjadi 50 meter, perlu dilakukan penyesuaian produk hukum khususnya pada ketentuan teknis. Ketentuan teknis inilah yang akan mengatur seperti apa implementasi pembangunan di kawasan sempadan pantai, sehingga ada jaminan kawasan itu tidak rusak.

"Singkatnya, kita akan men-zoning kembali sempadan pantai di Badung dalam RDTR untuk melihat kemungkinan yang ada. Kemudian jika memang memungkinkan untuk dibangun, ini kita pertegas kembali dengan menyusun ketentuan teknis," tambahnya.

Lebih lanjut ditegaskannya, setelah Ranperda RTRW Badung nantinya ditetapkan menjadi Perda, maka giliran semua pihak khususnya pemerintah untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum. Jangan lagi ada pihak-pihak yang melecehkan aturan. "Setelah Perda ditetapkan, pengawasan harus diperketat. Jangan main-main lagi. Pembangunan yang di luar peruntukan harus ditertibkan tanpa pandang bulu," tegasnya.

Sementara itu, tingginya abrasi yang terjadi di kawasan pesisir Badung dinilai Ketua BPC PHRI Badung IGN Rai Suryawijaya, S.E., MBA. akibat lemahnya pengawasan pemerintah dalam menegakan aturan. Hampir di seluruh kabupaten/kota terjadi pelanggaran tata ruang, baik pelanggaran jalur sempadan pantai, sempadan sungai, penyerobotan lahan basah, kawasan suci serta munculnya berbagai bangunan yang tidak sesuai daerah peruntukan seperti hotel, vila, permukiman atau pun bangunan untuk kegiatan usaha.

Peraturan Daerah (Perda) maupun aturan lainnya yang menyangkut keberlangsungan Bali selama ini masih terkesan tidak berdaya akibat pemerintahan yang ada terlalu banyak berwacana ketimbang mengambil tindakan kongkret. "Mereka seharusnya lebih konsen dalam menegakan aturan untuk Bali ke depan," ucap Rai Suryawijaya, Selasa (19/10) kemarin.

Menurutnya, penegakan Perda saat ini masih terkesan tebang pilih. "Penegakan hukum bagi investor harus diterapkan, jangan sampai pemerintah dipermainkan investor," ujarnya.

Direktur Utama BTDC Ir. I Made Mandra juga mengatakan, masalah abrasi yang terjadi di kawasan pesisir Badung akibat kendornya penegakan aturan yang ada. "Yang paling berkompeten dalam menangani kerusakan pesisir adalah pemerintah, bukan pengusaha. Sebab, pengusaha telah menunaikan kewajibannya untuk membayar pajak," ungkapnya.

Menurutnya, langkah yang dilakukan dalam mengatasi abrasi yang terjadi belum maksimal. Perhatian pemerintah terhadap kawasan pesisir masih minim. "Tidak sedikit kawasan pesisir pantai yang mengalami abrasi dan hingga saat ini belum mendapat penanganan serius pemerintah," tandasnya. (ded/par)http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaindex&kid=2&id=43525

PHRI Badung Keluhkan Maraknya Bisnis Vila Ilegal

Mangupura (Bali Post) -
Keberadaan usaha vila di Bali terutama di kawasan wisata Badung terus mendapat sorotan pelaku pariwisata. Selain dituding mengoperasikan kendaraan wisata tanpa izin, akomodasi yang menawarkan private facility ini disinyalir banyak beroperasi tanpa mengatongi izin usaha.

Keberadaan vila saat ini tidak hanya bangunannya yang banyak melanggar, namun juga melanggar izin operasional. ''Keberadaan mereka tentunya merugikan pengusaha legal dan pemerintah, karena tidak membayar pajak,'' ungkap Ketua BPC PHRI Badung IGN Rai Suryawijaya, S.E., MBA., Rabu (20/10) kemarin.

Rai Suryawijaya mensinyalir, usaha ilegal ini banyak dilakoni oleh warga asing yang menginvestasikan modalnya di Bali. Maraknya keberadaan vila, bungalo dan pondok wisata tanpa izin usaha juga menjadi penyebab rusaknya citra pariwisata Bali. Mengingat sarana pariwisata ini cenderung memberikan pelayanan yang buruk akibat harga yang rendah.

''Kami berharap pemeritah melibatkan pelaku usaha melakukan sidak ke lapangan. Penegakan hukum bagi investor yang terkesan lemah memicu maraknya pelanggaran. Jangan sampai pemerintah dipermainkan investor akibat lemahnya pengawasan dalam menegakkan aturan,'' pintanya.

Rai Suryawijaya menilai, maraknya keberadaan bisnis vila yang beroperasi secara ilegal menyebabkan rendahnya tingkat akupansi atau hunian hotel di Bali. Data terakhir, jumlah vila yang beroperasi diperkirakan mencapai 1.600 unit.

Sekretaris PHRI Bali, Ferry Markus sebelumnya mengatakan Pemerintah Provinsi Bali harus berani mengambil sikap tegas dengan menutup operasional sarana pariwisata ilegal tersebut. Bahkan, jika diperlukan melakukan pembongkaran terhadap vila, bungalo atau pondok wisata yang ilegal.

Ia menegaskan selain melakukan penertiban terhadap vila, bungalo dan pondok wisata ilegal, Pemprov Bali juga harus berani mengeluarkan kebijakan moratorium atau penghentian sementara pembangunan hotel di kawasan Bali Selatan, seperti Badung, Denpasar dan Gianyar. Moratorium diperlukan mengingat jumlah kamar hotel di Bali telah lebih dari cukup yaitu mencapai 56.000 kamar.

Di lain sisi sejumlah pengusaha vila mengungkapkan proses memperoleh izin usaha akomodasi pariwisata seperti vila di Bali cukup rumit dan harus melalui proses panjang. Ada beberapa langkah proses perizinan yang harus ditempuh pengelola vila untuk mendapatkan izin operasi. Mulai dari persetujuan prinsip untuk memperoleh izin membuat bangunan (IMB) dengan melampirkan lima syarat administrasi dan enam syarat teknis. Proses panjang yang mesti dilalui diperkirakan menjadi pemicu maraknya vila tidak berizin. (par)http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=3&id=43588