19/08/10

Ada Mafia Pemungutan PHR Keluhan Pelaku Pariwisata di Dewan

DENPASAR - Komponen Pariwisata mendatangi Gedung DPRD Bali kemarin. Mereka mengadukan berbagai masalah menyangkut Pariwisata Bali. Yakni soal kenaikan pajak ABT (Air Bawah Tanah) dan mafia PHR selama ini.

Rombongan dipimpin oleh Ketua BTB (Bali Tourism Board) IB Ngurah Wijaya. Selain itu ada juga pengusaha Bagus Sudibya, Ketua Asita Bagus Sudiana, Sekjen PHRI Gusti Kade Astawa dan banyak lagi lainnya. Seperti Bali Hotel Asosiation hingga persatuan vila di Bali. Sedangkan pihak dewan yang menerima dipimpin Wakil Ketua DPRD Bali Ketut Suwandhi. Ada juga Ketua Komisi I Made Arjaya, Ketua Komisi IV Nyoman Partha, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali Kariyasa Adnyana dan lainnya.

Bagus Sudibya memulai dengan mengatakan bahwa pajak ABT sangat mencekik pengusaha. Kenaikannya sampai seribu persen lewak SK Gubernur, kemudian ada surat susulan penundaan pemberlakuan seribu persen. Tapi, untuk sementara yang berlaku adalah kenaikan 500 persen. Namun hal itu dianggap tetap berat. Komponen Pariwisata mendesak agar ditunda pemberlakukan SK tersebut. Dan mendesak Dewan mengeluarkan rekomendasi untuk meminta Gubernur menundanya. "Kami harapkan ada rekomendasi hari ini juga agar Gubernur mau menunda kenaikan pajak ABT itu," sebut Bagus Sudibya.

Keluhan lain adalah masalah kemacetan yang mengancam pariwisata. Kemudian saat ini mobil tanpa izin angkutan wisata sangat banyak. Mobil ilegal ini diharapkan agar ditertibkan. Begitu juga masalah kelangkaan mikol, dan izin satu pintu. Termasuk juga disampaikan agar pengelolaan Bali adalah sistem satu pulau. Bukan seperti sekarang ada 9 kepala kabupaten/Kota yang kerap memiliki kebijakan berbeda menyangkut pariwisata.

Yang cukup menarik adalah ketika Direktur Utama BTDC Made Mandra berbicara. Dia mengatakan agar sistem pemungutan PHR (Pajak Hotel dan Restauran) menggunakan sistem online. Karena selama ini banyak penyimpangan. Dia memberikan rumusan yang menujukan bobroknya pola pemungutan PHR. Jika saja PHR diturunkan 50 persen dalam pemungutannya, kemudian gunakan sistem online, dia yakin akan mendapatkan pajak tiga kali lipat seperti yang dipungut 100 persen sekarang. "Saya yakin itu. Kalaupun diturunkan pemungutannya 50 persen. Kemudian gunakan sistem online, akan naik sampai tiga kali lipat dibandingkan manual sekarang," sebut Mandra.

Atas penjelasan ini, ketika sesi tanya jawab langsung Ketua Komisi I Made Arjaya angkat bicara. Dia mengatakan ada yang menarik disampaikan Mandra. "Artinya sudah jelas, apalagi sekelas Dirut BTDC menjelaskan penyimpangan itu. Yang harus dijelaskan sekarang apa pemungut pajaknya nakal atau wajib pajaknya?," sentil Arjaya.

Kalau dari kaca mata Arjaya, malah dua-duanya nakal. Lantaran dua-duanya diuntungkan. Misalnya sebuah hotel menyetor PHR Rp 100 juta, pihak pemungut pajak membuatkan pembukuan palsu. Yang mampu menurunkan wajib pajak misalnya menjadi Rp 25 juta saja. Dengan imbalan pemungut pajak Rp 25 juta. "Kan tetap untung pihak hotel Rp 50 juta. Ini terjadi kan? Mestinya Pak Mandra juga ikut menangkap model ini. Saya yakin tahu sebagai pimpinan di BTDC," sodoknya.

Sedangkan menyangkut desakan agar ada rekomendasi penundaan ABT sempat alot. Lantaran ada beda pendapat antar angota dewan, hingga akhirnya Suwandhi memberikan jalan tengah. Untuk melakukan kajian hingga satu minggu ke depan, untuk memberikan rekomendasi atas masalah ABT tersebut.

Mandra dikonfirmasi atas masalah mafia PHR itu, malah dia sedikit takut membebernya. Termasuk sewot ketika ditanya bahwa mafia PHR terjadi banyak di Badung termasuk di BTDC. "Jangan saya dibilang menyebutkan Badung. Saya bisa tuntut Anda," ketus pria yang dulu sempat banyak dirundung masalah dugaan penyimpangan anggaran di BTDC ini. (art)http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=175260

Tidak ada komentar:

Posting Komentar